Pengertian Demokratisasi
Demokratisasi adalah suatu perubahan baik itu perlahan maupaun secara cepat kearah demokrasi. Demokratisasi ini menjadi tuntutan global yang tidak bisa dihentikan. Jika demokratisasi tidak dilakukan, maka bayaran yang harus diterima adalah balkanisasi, perang saudara yang menumpahkan darah, dan kemunduran ekonomi dengan sangat parah (BJ Habibie 2005).
Demokratisai disuatu system pemerintahan memerlukan proses yang tidaklah mudah. Pada saat perubahan terjadi, selalu ada orang yang tidak ingin melakukan perubahan terus menerus, atau ada manusia yang tidak mampu menyesuaikan diri.Dalam kontes demokratisasi, peran individu yang mampu menerima perubahan itu sangat penting. Untuk itulah, individu harus punya tanggung jawab. Apalagi globalisasi yang terus mendorong perubahan yagn tidak bisa ditahan oleh Negara manapun.
Demokratisasi biasanya terjadi ketika ekspektasi terhadap demokrasi muncul dari dalam Negara sendiri, karna warga negaranya melihat system politik yang lebih baik, seperti yang berjalan dinegara demokrasi lain yang telah mapan, akan bisa juga dicapai oleh Negara tersebut. Dengan kata lain, pengaruh internasional dating sebagai sebuah inpirasi yang kuat bagi warga Negara didalam Negara itu.
Sebuah Negara yang sedang menjalani demokratisasi sangat mudah dipengaruhi oleh factor – factor eksternal. Pengaruh internasional dari sebuah proses demokratisasi bisa terjadi dalam beberapa bentuk, seperti : contagion, control dan conditionality.
Contagion terjadi ketika demokratisasi disebuah Negara mendorong gelombang demokratisasi dinegara lain. Proses demokratisasi di Negara – Negara eropa timur setelah perang dingin usai dan juga gelombang demokratisasi di negara – Negara amerika latin pada tahun 1970 an menajdi contoh signifikan.
Mekanisme control terjadi ketika sebuah pihak diluar Negara berusaha menerapkan demokrasi dinegara tersebut. Misalnya Doktrin Truman 1947 mengharuskan yunani untuk memenuhi beberapa kondisi untuk mendapatkan status sebagai “Negara demokrasi” dan karenanya berhak menerima bantuan anti komunisme dari amerika serikat.
Conditionality yaitu tindakan yang dilakukan organisasi internasional yang memberi kondisi – kondisi tertentu yang harus dipenuhi Negara penerima bantuan.
DEMOKRATISASI DI INDONESIA
Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, migrasi para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para migran politik tersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.
Di Indonesia, fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik pasca kolonial. Fokus demokrasi pada masa demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) bentukkan Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode transisi dan konsolidasi demokrasi 1998-2007).
Masa Demokrasi Liberal
Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.
Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni gonta-ganti pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh anti demokrasi. Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya. Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah mengubur demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, parliamentary democracy is not good for revolution.
Demokrasi Diktatorial (dibawah Soekarno dan Soeharto)
Dalam amanatnya kepada sidang pleno Konstitante di Bandung 22 April 1959, Soekarno dengan lugas menyerang konstituante, praktik demokrasi liberal, dan menawarkan kembali konsepsinya tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) .
Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan bersenjata, yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncul kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai Orde Baru.
Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila, dalam konsep yang sangat abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang sama dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.
Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik. Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan segera, sampai dengan terkonsolidasikannya kekuatan Orde Baru. Sebagai upaya lanjut mengatasi peruncingan ideologi Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri yang notabene, dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan diri sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau penggabungan partai ini merupakan wujud kekesalan Soeharto terhadap parpol dan hasratnya untuk membangun kepolitikan kekeluargaan. Menjaga citra sebagai negara demokrasi terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
Terhadap tuntutan demokrasi yang berkembang kuat sejak pertengahan 1980-an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington dinamakan gelombang demokrasi ketiga Soeharto menjawab dengan kebijakan mulur mungkret liberalisasi politik terbatas, yang oleh para pengkritik disebut sebagai demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi sekaligus mempertahankan instrumen represif terhadap kelompok yang mencoba-coba keluar dari aturan main yang ditentukan rezim.
Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah menjadikan porak porandanya ekonomi nasional yang ditandai dengan runtuhnya nilai mata uang rupiah, inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan semakin besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur.
Demokratisasi Pasca Orde Baru
Berakhirnya Orde Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat. Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam, mulai dari muslim radikal, sosialis, nasionalis, muncul dan bersaing untuk mendapatkan pengaruh politik. Sebelum pemilu multi partai 1999 diselenggarakan, berlangsung pertikaian di kalangan pro demokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal memposisikan elite-elite lama dalam proses transisi.
Beberapa kemajuan penting dalam arsitektur demokrasi yang dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik praktis.
Kesuksesan dalam melangsungkan demokrasi prosedural ini merupakan prestasi yang mendapatkan pengakuan internasional, tetapi di lain pihak, transisi juga ditandai dengan meluasnya konflik kesukuan, agama, dan rasial yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air sejak 1998. Misalnya di Ambon, Poso, Sambas dan lainnya.
Pemerintahan baru hasil pemilu 1999 yang memunculkan pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati jauh dari performance yang optimal. Wahid pada akhirnya dipaksa lengser setelah kurang dari dua tahun berkuasa. Lengsernya Wahid yang terpilih dengan legitimasi demokratis dan dikenal luas sebagai pendukung militan demokrasi, menjadi sebuah tragedi transisi demokrasi.
Praktik berdemokrasi di Indonesia masa transisi mendapatkan pengakuan luas dari dunia internasional. Dalam indeks yang disusun oleh Freedom House tentang hak politik dan kebebasan sipil Indonesia sejak pemilu 1999 hingga masa konsolidasi demokrasi saat ini berhasil masuk dalam kategori negara bebas. Hal ini berbeda dengan kepolitikan masa Orde Baru yang dikategorikan sebagai dengan kebebasan yang sangat minimal (partly free).
Problem demokrasi yang populer belakangan ini adalah, dapatkah demokrasi mampu mengantar bangsa ini ke arah sejahtera? Ataukah sebaliknya, demokrasi menjadi amat mahal, ketika biaya Pemilu dan Pilkada membutuhkan ongkos mahal, baik ongkos pemilu, maupun ongkos sosial akibat kerusuhan pasca pemilu.