Minggu, 25 Maret 2012
Produk pada Bank
Bank bukan hanya tempat untuk menyimpan uang, tetapi bank juga mengahasilkan produk dan jasa, pada tulisan ini saya akan membahas sedikit tentang produk yang dihasilkan oleh Bank.
Bank mempunyai 2 Produk , yaitu Produk dan Jasa, sedangkan Produk sendiri terbagi menjadi 2 macam , yaitu Deposit , dan Kredit , adapun Deposit terbagi menjadi 3 bagian , yaitu Tabungan (save), Giro, dan Deposito , sedangkan untuk Kredit terbagi menjadi 3 bagian , yaitu Kredit Investasi, Kredit Komersial, dan Kredit Usaha Kecil, dengan adanya kegiatan ini bank mendapatkan keuntungan (i2) begitu juga dengan nasabah.
Perang Credit Carrrrd menjadikan perilaku manusia yang konsumtif , maka dari itu tidak heran jika diperkirakan satu orang memiliki kurang lebih 3 credit card.
Sabtu, 17 Maret 2012
Produksi jadi Prioritas
Matakuliah : Bhs Indonesia (softskills)
Dosen Pembimbing : TRI WAHYU RETNO N
Sumber artikel : Kompas
Sragen, KOMPAS - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menginginkan peningkatan produksi pangan menjadi prioritas bangsa. Untuk
itu,perhatian, program dan anggaran harus diarahkan untuk mencapai peningkatan
produksi pangan tersebut.
Seusai panen raya di Dusun Bener, Kecamatan Ngrampal,
Kabupaten Sragen, jawa Tengah (17/2) , Presiden Yudhoyono mengatakan
produktivitas padi yang saat ini mencapai rata-rata nasional 5,1 ton per hektar
diharapkan kedepan dapat ditingkatkan menjadi 8 ton per hektar. Daerah-daerah
yang telah mendapat surplus padi diharapkan dapat menjaga , bahkan meningkatkan
lagi produktivitasnya. Sementara daerah lain yang masih defisit diharapkan
dapat mengikuti langkah daerah lain yang telah surplus.
"Kami ingin produktivitas
pangan menjadi prioritas. Ini berlaku diseluruh tanah air, “kata SBY di
dampingi Ny. Ani Yudhoyono dan sejumlah menteri, antara lain Menteri Pertanian
Suswono, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Perdagangan Gita
Wirjawan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari LK Pangestu, Serta Menteri
Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng.
Untuk mencapai target ini Presiden
agar menyerukan agar Gubernur, Bupati, dan Walikota memberi perhatian khusus
kepada petani. Ia meminta agar kepala daerah sering kelapangan menemui petani, “sering-seringlah
bertemu petani agar mengerti kebutuhan dan persoalan petani sehingga kebijakan
dan solusi yang diberikan tepat , “ujar Presiden .
Ia juga meminta agar komunikasi
kelompok tani dengan pemerintah daerah,dunia usaha, dan dunia penelitian
ditingkatkan. Dengan demikian, akan dicapai produktivitas tanaman yang tinggi,
tahan hama, serta efisien dalam penggunaan pupuk. “Alhamdulillah, meskipun
sekali-sekali masih ada bencana, iklim kita sekarang lebih bersahabat. Momentum
ini disia-siakan untuk bercocok tanam, “katanya.
Presiuden mengakui akibat perubahan
iklim, jenis hama baru muncul. Namun, diakuinya masih ada kekuirangan
pestisida. Peran penyuluh pertanian akan lebih ditingkatkan mendampingi petani.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan
mengatakan, kecenderungan kenaikan harga beras di pasaran saat ini tidak
terlalu mengkhawatirkan. Disisi lain, harga jual panen dari petani harus
dibantu demi meningkatkan kesejahteraan petani. Saat ini pemerintah bersama
semua pemangku kepentingan masih terus menggodok harga pembelian pemerintah
(HPP) gabah dan beras. HPP akan ditingkatkan dalam batas wajar agar ptani ikut
menikmati harga beras yang kini cukup tinggi di pasaran.
Pedagang luar daerah
Untuk memperoleh gabah dari petani,
Perum Bulog harus berebut dengan perusahaan penggilingan padi setempat dan
pedagang padi dari luar daerah. Harga gabah ditingkat petani yang sudah mulai
panen saat ini, panen mencapai sekitar 20% dari sekitar 800.000 hektar areal
tanman padi di Jember.
Pendapat
Saya
1. Pemerintah daerah sebaiknya
mengadakan perkreditan pertanian penunjang hasil panen yang maksimal. Misalnya
seperti pupuk, mesin dan alat bantu lainnya. Dengan beginim, para petani mudah
untuk mendapatkan hasil yg panen optimal karena kebutuhan peralatan pertanian
mereka tercukupi tanpa harus menunggu
banyak waktu untuk mengumpulkan dana yang besar untuk membeli alat
penunjang tersebut.
2. Pemerintah sebaiknya mengadakan
pengarahan bagi para petani yang berada di daerah defisit agar mereka mampu
mengikuti jejak petani-petani yg sukses (yg berada di daerah surplus), seperti
diadakannya “Seminar Pertanian” yang membahas tentang , mengatasi masalah iklim , hama ,
menjaga dan memelihara ladang .
BANK
Tugas Komputer Lembaga Keuangan dan Perbankan , 13 Maret '12
Arti Bank menurut saya adalah tempat dimana kita bisa menyimpan uang dan meinjam uang , dengan dana menghimpun dana dari masyarakat guna menaikan taraf kesejahteraan hidup masyarakat itu sendiri.
Pengertian bank ,emurut Undang-Undang No. 7 tahun 1992tentang perbankan sebagaimana diubah dalam Undang-Undang No. 10 tshun 1998 adalah sebagai berikut : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak.
Unsur yg mempengaruhi kerja bank (kegiatan bank) yaitu :
1. Aktiva
Merupakan kekayaan yg dimiliki perusahaan .dan yg termasuk dari aktiva yaitu, alokasi dana , reserves, loan (kredit), sekuritas , dll
2. Pasiva
Merupakan sumber-sumber dana yg akan di kembangkan , agar mendapat untung untuk memenuhi perkreditan masyarakat , dan yg termasuk dari pasiva yaitu mencari dana,deposito,sekuritas,capital .
Sumber-sumber dana bank adalah usaha bank dalam memperoleh dana dalam rangka membiayai kegiatan operasinya.
Arti Bank menurut saya adalah tempat dimana kita bisa menyimpan uang dan meinjam uang , dengan dana menghimpun dana dari masyarakat guna menaikan taraf kesejahteraan hidup masyarakat itu sendiri.
Pengertian bank ,emurut Undang-Undang No. 7 tahun 1992tentang perbankan sebagaimana diubah dalam Undang-Undang No. 10 tshun 1998 adalah sebagai berikut : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak.
Unsur yg mempengaruhi kerja bank (kegiatan bank) yaitu :
1. Aktiva
Merupakan kekayaan yg dimiliki perusahaan .dan yg termasuk dari aktiva yaitu, alokasi dana , reserves, loan (kredit), sekuritas , dll
2. Pasiva
Merupakan sumber-sumber dana yg akan di kembangkan , agar mendapat untung untuk memenuhi perkreditan masyarakat , dan yg termasuk dari pasiva yaitu mencari dana,deposito,sekuritas,capital .
Sumber-sumber dana bank adalah usaha bank dalam memperoleh dana dalam rangka membiayai kegiatan operasinya.
Selasa, 06 Maret 2012
Komputer Lembaga Keuangan dan Perbankan
Diblog ini saya akan membahas mata kuliah KOMPUTER LEMBAGA
PERBANKAN tentang WORLD FINANCIAL FLOW .
Setiap kehidupan pasti ada naik dan
turun , begitu juga dengan keadaan ekonomi , ada seseorang yg mampu memenuhi
segala kebutuhannya misalnya saja A, dan
ada juga seseorang yg tidak mampu memenuhi memenuhi kebutuhannya, misalnya saja
B . Dan tentunya B membutuhkan uang lebih banyak agar dapat memenuhi segala
kebutuhannya dengan meminjam uang kepada seseorang yg makmur yaitu A, dan A
tidak serta menyimpan duitnya sendiri , dia menyimpan duitnya di BANK , inilah
yg dinamakan DEPOSIT , penyimpanan dana tersebut terbagi menjadi tiga , yaitu:
1 . Simpanan Tabungan
(Saving Deposit)
2. Simpanan Giro
(Demand Deposit)
3. Simpanan Deposito (Time Deposit)
Dalam
penyimpanan uang ini , kedua belah pihak sama-sama mendapatkan bunga , Bank
mendapatkan bunga dari sang peminjam (B) dan A mendapatkan bunga dari Bank. Bunga yg di dapat
oleh bank (i2) harus lebih besar dari pada bunga yg di dapat dari A (i1), dan
selisih kedua bunga tersebuut dinamakan INTEREST SPREAD .
= i2 > i1 (bunga bank harus
lebih besar daripada bunga A)
= i2 – i1 (selisih keduanya
dinamakan INTEREST SPREAD)
|
Dan
keuntungan bungan kedua belah pihak disebut Financial Intermediary, dan semua peristiwa
ini dinamakan Indirect Investment yaitu , keadaan / situasi yg dikuasai oleh
Bank .
Adapun cara lain seorang A untuk menyimpan uangnya selain di Bank ,
yaitu dengan cara memasuki Pasar Modal
(Capital Market), disini terdapat dua cara menginvestasikan uang
tersebut , yaitu :
1.
Saham
(Stock)
adalah surat bukti atau tanda kepemilikan
bagian modal pada suatu
perseroan
terbatas , terbagi dua saham :
A
. Deviden
Dividen dibayarkan sepanjang
perusahaan memperoleh laba
B.
Capital Gain
Capital Gain adalah
keuntungan yg diperoleh pemegang saham , ketika menjual sahamnya , dengan kata
lain adalah selisih harga jual dan harga beli saham .
2.
Obligasi
Obligasi adalah suatu istilah
yang digunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu
pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji
untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat
tanggal jatuh tempo pembayaran.
Semua transaksi pada
pasar modal ini pastinya memakai perantara, dan lewat perantara inilah B dapat
meminjam uang. Semua kejadian ini disebut Direct Investment , yaitu kejadian
diluar kuasa Bank (Pasar Modal, Saham) .
Bunga yg diperoleh dalam
menginvestasikan uang di bank sebesar 15%, sedangkan pada pasar modal sebesar
7,5%, dan keadaan ini dinamakan Transter of risk .
Dan inila sistem Bank
dan Pasar Modal dalam penginvestasian uang A , misalnya saja A menabung di BANK
ADT, dan B meminjam uang pada BANK ADT , karena pasti dalam pinjam meminjam
uang ada resikonya , makan BANK ADT tersebut bekerja sama dengan pihak ASURANSI
misalnya saja ASURANSI MI, agar tidak menanggung resiko , bank harus membayar
premi sesuai ketentuan yg berlaku , karena ASURANSI MI tidak mau menanggung
resiko BANK ADT , maka ia bekerja sama dengan ASURANSI juga ,misalnya saja
ASURANSI MDP, disinilah terjadi REASURANSI, yaitu istilah yang digunakan saat satu perusahaan asuransi melindungi
dirinya terhadap resiko asuransi dengan memanfaatkan jasa dari perusahaan
asuransi lain. Terdapat banyak alasan yang menyebabkan perusahaan asuransi
melakukan reasuransi. Dan
karena ASURANSI MDP juga tidak mau menanggung resiko sendirian maka ia bekerja
sama dengan asuransi lain , misalnya saja ASURANSI ICA, disinilah terjadi
RETROCESSI, yaitu Pelimpahan risiko
dari perusahaan reasuransi kepada perusahaan reasuransi lain. Dan
kemudian ASURANSI ICA tidak mau mengambil resiko sediri , ahirny ia mendirikan
anak – anak perusahaan dan memasuki pasar modal untuk mencari capital gain ,
dan kepemilikan saham .
Kemudian untuk
menjaga assetnya , A mendirikan perusahaan LEASING , yaitu Leasing adalah
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara
sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa-guna-usaha tanpa
hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala, biasanya di pakai untuk
peng kreditan barang elecktronik dan motor, karena A tidak mau menanggung
resiko sendiri , maka ia bekerja sam dengan asuransi , misalnya saja ASURANSI
MI tadi , dan kemudian terjadilah proses seperti pada BANK ADT tadi , begitu
terus selanjutnya , inilah yg dinamakan WORLD FINANCIAL FLOW.
Sabtu, 03 Maret 2012
Perkembangan Perbankan Sejak Tahun 1990
Pada tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang
berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya.
Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak
saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank
umum dan BPR.
UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.
Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing.
Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah berusaha membatasi. Keadaan ekonomi mulai memanas dan inflasi meningkat.
Dari segi penghimpunan dana masyarakat, perbankan Indo¬nesia juga mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi terutama pada tahun 1989-90. Pada tahun 1989, jumlah dana yang berhasil dihimpun meningkat 45 persen dibanding tahun sebelumnya, mencapai 54,4 triliun rupiah. Pada tahun 1990, jumlah dana yang dihimpun mencapai 83,2 triliun, meningkat 52,9 persen atau 121.7 persen dari tahun 1988. Hal yang sama juga terjadi pada penyaluran kredit. Pada 1989, kredit yang disalurkan perbankan melonjak 44,5 persen menjadi 63.6 triliun rupiah dan mencapai 97,70 triliun rupiah atau meningkat 122.0 persen pada 1990. Pelonggaran sistem likuiditas tersebut ternyata menyebabkan situasi ekonomi memanas (over heated) dan menimbulkan pengaruh semakin tingginya inflasi. Jumlah uang beredar meningkat tajam sebesar 23,4 persen pada 1989 dan 73,2 persen pada 1990. Demikian juga tingkat inflasi hampir mencapai dua digit 9,5 persen pada 1990 dan tetap pada tingkat yang sama pada 1991 (Tabel 2).
Tabel 2 . Perkembangan Dana, Kredit, Jumlah, Uang Beredar dan Tingkat Inflasi di Indonesia, 1988-93 (Milyar rupiah)
Tahun Deposit Kredit Uang Beredar Inflasi (%)
1988 37.510 44.001 33.885 6.10
1989 54.375 63.606 41.998 5.97
1990 83.154 97.696 58.704 9.53
1991 95.118 113.608 84.630 9.52
1992 114.850 123.689 119.053 4.94
1993* 117.636 124.922 123.161 6.59
Sumber : Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan : sampai Maret 1993
Keadaan ini memaksa pemerintah memberlakukan kebijaksanaan baru dalam bidang moneter pada tahun 1990. Paket Deregulasi Januari 1990 diluncurkan untuk membatasi jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan bank-bank membagi 20 persen dari kreditnya kepada kredit usaha kecil (KUK). Pada tahun yang sama juga, dengan terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan uang ketat (Tight Money Policy) serta menarik dana milik BUMN dari beberapa bank untuk mendinginkan suku perekonomian dalam negeri.
Di samping itu juga pemerintah menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menarik dana dari masyarakat. Meningkatnya suku bunga SBI tersebut membawa dampak peningkatan suku bunga perbankan lainnya seperti Surat Berharga Pasar Uang dan Interbank Call Money. Pada tahun 1989 terjadi peningkatan tajam tingkat bunga SBI dari 15,15 persen menjadi 19,88 persen, tingkat bunga SBPU dari 17,00 persen menjadi 20,84 persen dan tingkat bunga interbank dari 12,57 persen menjadi 21,53 persen.
C. Kondisi Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an
Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para pelakunya. Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan.
Sebagai rangkaian kebijakan deregulasi dengan mengantisipasi perkembangan sebagaimana diuraikan di atas, pada 17 Desember 1990 Bank Indonesia menetapkan Pola Dasar Pengawasan dan Pembinaan Bank yang dimaksudkan untuk menyesuaikan pola pengawasan dan pembinaan bank agar tetap diarahkan untuk meningkatkan kedewasaan dan kemandirian dalam pola pikir dan sikap yang bertanggungjawab dalam mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang pembangunan ekonomi.
Pola dasar pengawasan dan pembinaan bank harus dikembangkan sebagai konsep yang terintegrasi dengan dunia perbankan dan pihak-pihak lain yang terkait. Untuk meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991) tentang Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu pada standar perbankan internasional yang antara lain meliputi ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif.
Bertalian dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang Perbankan 1992 yang menetapkan bahwa bank pemerintah harus menyesuaikan bentuk hukum lembaga selambat-lambatnya setahun sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut, Bank Indonesia membantu bank-bank yang bersangkutan termasuk pemegang saham yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan untuk melakukan persiapanpersiapan yang diperlukan dalam rangka mewujudkan penyesuaian yang diwajibkan. Sebelum berakhirnya batas waktu, ketujuh bank pemerintah telah dapat melakukan penyesuaian sehingga untuk selanjutnya nama resmi yang digunakan oleh bank-bank tersebut adalah :
(i) Bank Negara Indonesia (Persero)
(ii) Bank Bumi Daya (Persero)
(iii) Bank Rakyat Indonesia (Persero)
(iv) Bank Dagang Negara (Persero)
(v) Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero)
(vi)Bank Pembangunan Indonesia (Persero) dan
(vii)Bank Tabungan Negara (Persero).
Dengan telah ditempatkannya semua bank pemerintah sebagai bank umum yang kedudukannya sama dengan bank-bank umum lainnya, serta yang berlandaskan hanya pada satu undang-undang, kebijakan Bank Indonesia yang khusus ditujukan kepada bank pemerintah pada masa yang lalu, sejak saat itu ditiadakan. Perlakuan Bank Indonesia terhadap bank pemerintah baik dalam pemberlakuan ketentuan perbankan maupun dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan bank disamakan dengan perlakuan terhadap bank-bank umum lainnya.
Terkait dengan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah) pada tanggal 30 Oktober 1992 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1990 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank yang memilih kegiatan usahanya berdasarkan prinsip bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan sebagai bank konvensional, demikian pula sebaliknya.
Kegiatan operasional bank berdasarkan prinsip bagi hasil baik dalam penghimpunan dan penanaman dana maupun dalam pemberian jasa perbankan lainnya serta dalam hal risiko usaha pada dasarnya sama dengan bank konvensional. Yang membedakan adalah bahwa imbalan semua transaksi perbankan tidak didasarkan pada system bunga melainkan atas dasar prinsip jual beli sebagaimana digariskan dalam syariat (hukum) Islam.
Otoritas pengawasan 1983-1990
Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990 Bank Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan. Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990 Bank Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan. Tugas tersebut tetap melekat bahkan dipertegas dalam Undangundang Perbankan baru, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1990. Dalam Bab I pasal 29 sampai dengan 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1990, peran Bank Indonesia mencakup fungsi regulasi, pengawasan, pemeriksaan dan pembinaan, serta penerapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan bank.
Selain dalam pasal-pasal tersebut, terdapat pula kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi hal-hal yang dilakukan bank seperti dalam pasal 7 tentang kegiatan dalam valuta asing, penyertaan modal, serta bertindak sebagai pendiri dan pengurusan dana pensiun. Perbedaan fundamental dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia berdasarkan kedua undang-undang tersebut adalah dari segi pendekatan dan pola pelaksanaan dengan menerapkan kebijakan deregulasi. Khusus untuk bank-bank pemerintah dan bank pembangunan daerah pengawasannya juga dilakukan oleh BPK/BPKP. Sedangkan bank-bank yang sudah go public pengawasannya dilakukan oleh Bank Indonesia dan Bapepam.
Nilai kurs sejak tahun 1990 – 1997
Sejak tahun 1990 sampai dengan minggu ke dua Juli 1997 nilai tukar rupiah cukup stabil dan wajar. Pada akhir Desember 1990 kurs antara rupiah dengan dolar Amerika Serikat (kurs tengah) adalah Rp 1.901,00 dan kurs ini mengalami penyesuaian menjadi Rp 2.383,00 pada akhir tahun 1996. kestabilan nilai kurs rupiah berlanjut sampai dengan 11 Juli 1997 dimana nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat Rp. 2.440,00. Namun dalam minggu kedua Juli 1977 gonjangan terhadap nilai kurs rupiah mulai dirasakan, yang bermula dari jatuhnya mata Uang Bath Thailand. Pemerintah pada tanggal 14 Agustus 1997 melepas bata-batas kurs intervensi.
Dengan pelepasan batas-batas kurs intervensi, pemerintah meninggalkan sistem tukar upiah yang mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang murni sehingga nilai tukar kurs rupiah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan pasar. Walaupun demikian, pemerintah dapat mempengaruhi nilai kurs rupiah baik secara langsung maupun secara tidak langsung, yaitu melalui kebijaksaan fiskal dan moneter.
D. Jalan Berliku Perbankan Indonesia di 2008-2009
Perjalanan perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan tantangan dan kendala yang harus dihadapi, sehingga memaksa para pelaku usaha dan pengusaha dari berbagai sektor merevisi target pendapatan, pertumbuhan dan rencana bisnis investasinya. Pasalnya siapa yang menduga, krisis keuangan global terjadi di tahun ini dan akibatnya dampak tersebut mulai dirasakan negara berkembang, khususnya Indonesia.
Meskipun dampak dirasakan belum separah yang dialami negara maju, dimana sumber tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi dan pengusaha dalam negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat ekonomi memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun depan, sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak mengantisipasi dampak lebih buruk ditahun mendatang.
Krisis ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan terbesar di dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime mortgage) dan disusul kebangkrutan industri otomotifnya, seperti General Motor dan Ford. Musibah yang menimpa di Amerika juga serentak dirasakan negara-negara maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju saja tidak bisa mengelak dari krisis keuangan global dan apalagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ternyata betul saja, dampak krisis sempat memberikan sentimen buruk bagi lembaga keuangan bank dan non bank di Indonesia. Pasar modal dalam negeri juga sempat terkoreksi pada level yang paling buruk dampak menularnya kejatuhan pasar bursa di Wall Street. Terkoreksinya pasar bursa dalam negeri sempat membuat otoritas bursa menutup (suspensi) pasar dalam waktu dua hari.
Kepanikan Akibat Rumor Negatif
Muncul kabar dan rumor negatif adanya redemption di pasar modal oleh para investor asing guna menutupi keuangan di negaranya, telah membuat nilai tukar rupiah terus melorot dan jatuhnya indek harga saham gabungan (IHSG).
Akibatnya, kepanikan para nasabah perbankan dalam negeri bertambah dan mereka menilai menyimpan dana di bank sudah tidak aman lagi.
Beberapa kali pemerintah mencoba menyakinkan masyarakat, krisis yang terjadi tidak akan menjadikan perekonomian Indonesia terpuruk sebagaimana yang terjadi di tahun 1998. Pasalnya fundamental ekonomi di Indonesia masih kuat dan perbankan masih berjalan sehat.
Tingginya intensitas rumor negatif yang beradar di masyarakat, akhirnya mempertegas kondisi perbankan Indonesia sedang mengalami ketatnya likuiditas antar bank. Gagal kriliring akibat kesulitan likuiditas yang dialami bank Century menjadi bukti nyata dampak rumor telah meresahkan sektor perbankan. Maklum saja lembaga perbankan sangat sensitif dengan kabar dan rumor tersebut.
Banyaknya beredar rumor menjadi momok menakutkan bagi sektor perbankan dan akhirnya membuat pemerintah geram. Kekesalan pemerintah terhadap penyebar rumor berbuah hasil dengan ditangkapnya broker PT Bahana Securitas, Erick Jazier Adriansyah pada awal November.
Modus yang dilakukan si penyebar rumor likuiditas perbankan nasional ini dengan menyebarkan surat elektronik kepada sejumlah kliennya yang isinya bahwa lima bank dalam keadaan kesulitan keuangan, yaitu Bank Artha Graha Internasional, Bank Bukopin, Bank Century, Bank Panin, dan Bank Victoria.
Dengan alasan untuk mengembalikan kepercayaan nasabah dan menjaga dampak sistemik keuangan di Indonesia, pemerintah mengambil alih bank Century melalui Lembaga Penjamin Simpanan dengan menyuntikkan dana hingga Rp2 triliun. Kasus diambil alihnya Century oleh pemerintah telah menjadi tamparan telah bagi Bank Indonesia. Pasalnya, sebagai bank sentral, BI dinilai lemah dalam melakukan pengawasan antar Bank. Anggota DPR Komisi XI Drajat Wibowo mengatakan, kasus Century bukan hanya tanggung jawab penyebar rumor negatif tetapi juga tanggung jawab BI, karena gagalnya melakukan pengawasan antar bank.
Di tengah tingginya persaingan perbankan merebut pasar dalam negeri, ternyata dampak krisis keuangan global membuat bisnis bank-bank BUMN harus direvisi dan bahkan lebih bersikap hati-hati dalam mengucurkan kreditnya. Tidak mau menimbulkan kredit macet dan tingginya Non Performance Loan (NPL), sekarang perbankan harus lebih berhati-hati dan selektif menyalurkan kreditnya.
Hal semacam inilah yang dilakukan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang lebih selektif memberikan kucuran kredit kepada nasabahnya, khususnya disektor perkebunan kelapa sawit. “Kita tidak menurunkan kredit perbankan untuk sektor perkebunan, tetapi akan lebih selektif” kata Direktur Risk Management Bank Mandiri Sentot A Sentausa.
Menurutnya, apa yang dilakukan Bank Mandiri dengan cara tersebut sebagai upaya mengantisipasi terjadinya kredit macet yang tinggi, sebagaimana pengalaman yang terjadi di tahun 2005. Masih labilnya kondisi ekonomi dan ancaman lambatnya pertumbuhan ekonomi di tahun mendatang, membuat kebijakan Bank Indonesia tentang kepemilikan tunggal (Single Pressence Policy/SPP) berjalan di tempat dan tidak ada progress yang signifikan, kendatipun BI sudah mengundurkan target penerapan peraturan tersebut dari semula pada akhir 2008 menjadi akhir 2010.
E. Kondisi Terakhir Perbankan Di Indonesia
Kondisi perbankan di Indonesia semakin membaik meski tekanan krisis keuangan global semakin terasa. Hal tersebut terlihat dari berkurangnya keketatan likuiditas perbankan dan tumbuhnya total kredit perbankan. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Mulyaman D Hadad mengatakan, berdasarkan data perkembangan terakhir, keketatan likuiditas sudah berkurang.
Dalam 2 bulan terakhir likuiditas mulai berkurang, tapi masih menjadi perhatian. Bertambahnya likuiditas perbankan tersebut karena ada pelonggaran ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dan peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK), sedangkan total kredit tahun per tahun tumbuh 37,1 persen.
Kredit investasi juga mencatat pertumbuhan tahunan tertinggi 42,9 persen, kredit modal kerja tumbuh 39 persen, kredit konsumsi tumbuh 33 persen. Adapun tingkat kredit macet (Non Performing Loan/NPL) relatif stabil 3,9 persen. Kecukupan modal perbankan (CAR) juga masih tinggi mencapai 16 persen. Risiko kredit dan risiko pasar masih tergolong rendah, namun berpotensi meningkat apabila pemburukan ekonomi global berlanjut. Lebih lanjut Mulyaman memperkirakan, jika pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 4,9-5 persen, pertumbuhan kredit bisa mencapai 15-20 persen di tahun 2009 mendatang.
Pejabat senior IMF Perwakilan Indonesia Milan Zavadjil juga menyatakan bahwa sistem perbankan di Indonesia mulai kuat dan memiliki modal serta kinerja bagus yang tercipta karena membaiknya sistem pengawasan perbankan. Zavadjil yang dikutip dari keterangan pers di website IMF menyebutkan kinerja perekonomian Indonesia secara umum sangat baik dalam 10 tahun terakhir dengan memperbaiki makro ekonomi dan stabilitas sistem keuangan terutama di sektor fiskal dan kebijakan moneter.
Pernyataan ini sengaja dikeluarkan untuk meluruskan pemberitaan yang keliru oleh media-media di Indonesia mengenai penilaian atas ekonomi Indonesia dalam laporan IMF mengenai kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia yang dipublikasikan beberapa waktu lalu.
Keberhasilan menghadapi krisis keuangan 2008-2009 menjadi bukti jelas daya tahan sistem dan membaiknya stabilitas keuangan Indonesia yang dibentuk 10 tahun terakhir ini. Program penilaian sektor keuangan (Financial Sector Assessment Program/FSAP) adalah analisis menyeluruh dan mendalam mengenai sektor keuangan suatu negara yang telah dimulai sejak 1999 dan diikuti lebih dari 150 negara termasuk negara anggota G-20.
Fokus penilaian program ini yaitu mengukur stabilitas sektor keuangan dan potensi kontribusinya bagi pertumbuhan dan pembangunan. Penilaian IMF, katanya termasuk melakukan stress test kekuatan perbankan Indonesia menghadapi kondisi yang paling ekstrim seperti penurunan pertumbuhan ekonomi.
Untuk Indonesia hasil stress test sangat positif. Dalam tes dengan skenario bawah, meski keuangan bank terkena dampak tetapi permodalan masih bertahan di batas yang ditentukan. Dalam kesimpulan IMF, sektor keuangan Indonesia sudah menjadi sistem yang kuat dan itu merupakan sinyal positif bagi investor dalam dan luar negeri.
UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.
Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing.
Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah berusaha membatasi. Keadaan ekonomi mulai memanas dan inflasi meningkat.
Dari segi penghimpunan dana masyarakat, perbankan Indo¬nesia juga mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi terutama pada tahun 1989-90. Pada tahun 1989, jumlah dana yang berhasil dihimpun meningkat 45 persen dibanding tahun sebelumnya, mencapai 54,4 triliun rupiah. Pada tahun 1990, jumlah dana yang dihimpun mencapai 83,2 triliun, meningkat 52,9 persen atau 121.7 persen dari tahun 1988. Hal yang sama juga terjadi pada penyaluran kredit. Pada 1989, kredit yang disalurkan perbankan melonjak 44,5 persen menjadi 63.6 triliun rupiah dan mencapai 97,70 triliun rupiah atau meningkat 122.0 persen pada 1990. Pelonggaran sistem likuiditas tersebut ternyata menyebabkan situasi ekonomi memanas (over heated) dan menimbulkan pengaruh semakin tingginya inflasi. Jumlah uang beredar meningkat tajam sebesar 23,4 persen pada 1989 dan 73,2 persen pada 1990. Demikian juga tingkat inflasi hampir mencapai dua digit 9,5 persen pada 1990 dan tetap pada tingkat yang sama pada 1991 (Tabel 2).
Tabel 2 . Perkembangan Dana, Kredit, Jumlah, Uang Beredar dan Tingkat Inflasi di Indonesia, 1988-93 (Milyar rupiah)
Tahun Deposit Kredit Uang Beredar Inflasi (%)
1988 37.510 44.001 33.885 6.10
1989 54.375 63.606 41.998 5.97
1990 83.154 97.696 58.704 9.53
1991 95.118 113.608 84.630 9.52
1992 114.850 123.689 119.053 4.94
1993* 117.636 124.922 123.161 6.59
Sumber : Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan : sampai Maret 1993
Keadaan ini memaksa pemerintah memberlakukan kebijaksanaan baru dalam bidang moneter pada tahun 1990. Paket Deregulasi Januari 1990 diluncurkan untuk membatasi jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan bank-bank membagi 20 persen dari kreditnya kepada kredit usaha kecil (KUK). Pada tahun yang sama juga, dengan terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan uang ketat (Tight Money Policy) serta menarik dana milik BUMN dari beberapa bank untuk mendinginkan suku perekonomian dalam negeri.
Di samping itu juga pemerintah menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menarik dana dari masyarakat. Meningkatnya suku bunga SBI tersebut membawa dampak peningkatan suku bunga perbankan lainnya seperti Surat Berharga Pasar Uang dan Interbank Call Money. Pada tahun 1989 terjadi peningkatan tajam tingkat bunga SBI dari 15,15 persen menjadi 19,88 persen, tingkat bunga SBPU dari 17,00 persen menjadi 20,84 persen dan tingkat bunga interbank dari 12,57 persen menjadi 21,53 persen.
C. Kondisi Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an
Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para pelakunya. Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan.
Sebagai rangkaian kebijakan deregulasi dengan mengantisipasi perkembangan sebagaimana diuraikan di atas, pada 17 Desember 1990 Bank Indonesia menetapkan Pola Dasar Pengawasan dan Pembinaan Bank yang dimaksudkan untuk menyesuaikan pola pengawasan dan pembinaan bank agar tetap diarahkan untuk meningkatkan kedewasaan dan kemandirian dalam pola pikir dan sikap yang bertanggungjawab dalam mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang pembangunan ekonomi.
Pola dasar pengawasan dan pembinaan bank harus dikembangkan sebagai konsep yang terintegrasi dengan dunia perbankan dan pihak-pihak lain yang terkait. Untuk meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991) tentang Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu pada standar perbankan internasional yang antara lain meliputi ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif.
Bertalian dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang Perbankan 1992 yang menetapkan bahwa bank pemerintah harus menyesuaikan bentuk hukum lembaga selambat-lambatnya setahun sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut, Bank Indonesia membantu bank-bank yang bersangkutan termasuk pemegang saham yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan untuk melakukan persiapanpersiapan yang diperlukan dalam rangka mewujudkan penyesuaian yang diwajibkan. Sebelum berakhirnya batas waktu, ketujuh bank pemerintah telah dapat melakukan penyesuaian sehingga untuk selanjutnya nama resmi yang digunakan oleh bank-bank tersebut adalah :
(i) Bank Negara Indonesia (Persero)
(ii) Bank Bumi Daya (Persero)
(iii) Bank Rakyat Indonesia (Persero)
(iv) Bank Dagang Negara (Persero)
(v) Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero)
(vi)Bank Pembangunan Indonesia (Persero) dan
(vii)Bank Tabungan Negara (Persero).
Dengan telah ditempatkannya semua bank pemerintah sebagai bank umum yang kedudukannya sama dengan bank-bank umum lainnya, serta yang berlandaskan hanya pada satu undang-undang, kebijakan Bank Indonesia yang khusus ditujukan kepada bank pemerintah pada masa yang lalu, sejak saat itu ditiadakan. Perlakuan Bank Indonesia terhadap bank pemerintah baik dalam pemberlakuan ketentuan perbankan maupun dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan bank disamakan dengan perlakuan terhadap bank-bank umum lainnya.
Terkait dengan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah) pada tanggal 30 Oktober 1992 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1990 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank yang memilih kegiatan usahanya berdasarkan prinsip bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan sebagai bank konvensional, demikian pula sebaliknya.
Kegiatan operasional bank berdasarkan prinsip bagi hasil baik dalam penghimpunan dan penanaman dana maupun dalam pemberian jasa perbankan lainnya serta dalam hal risiko usaha pada dasarnya sama dengan bank konvensional. Yang membedakan adalah bahwa imbalan semua transaksi perbankan tidak didasarkan pada system bunga melainkan atas dasar prinsip jual beli sebagaimana digariskan dalam syariat (hukum) Islam.
Otoritas pengawasan 1983-1990
Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990 Bank Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan. Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990 Bank Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan. Tugas tersebut tetap melekat bahkan dipertegas dalam Undangundang Perbankan baru, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1990. Dalam Bab I pasal 29 sampai dengan 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1990, peran Bank Indonesia mencakup fungsi regulasi, pengawasan, pemeriksaan dan pembinaan, serta penerapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan bank.
Selain dalam pasal-pasal tersebut, terdapat pula kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi hal-hal yang dilakukan bank seperti dalam pasal 7 tentang kegiatan dalam valuta asing, penyertaan modal, serta bertindak sebagai pendiri dan pengurusan dana pensiun. Perbedaan fundamental dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia berdasarkan kedua undang-undang tersebut adalah dari segi pendekatan dan pola pelaksanaan dengan menerapkan kebijakan deregulasi. Khusus untuk bank-bank pemerintah dan bank pembangunan daerah pengawasannya juga dilakukan oleh BPK/BPKP. Sedangkan bank-bank yang sudah go public pengawasannya dilakukan oleh Bank Indonesia dan Bapepam.
Nilai kurs sejak tahun 1990 – 1997
Sejak tahun 1990 sampai dengan minggu ke dua Juli 1997 nilai tukar rupiah cukup stabil dan wajar. Pada akhir Desember 1990 kurs antara rupiah dengan dolar Amerika Serikat (kurs tengah) adalah Rp 1.901,00 dan kurs ini mengalami penyesuaian menjadi Rp 2.383,00 pada akhir tahun 1996. kestabilan nilai kurs rupiah berlanjut sampai dengan 11 Juli 1997 dimana nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat Rp. 2.440,00. Namun dalam minggu kedua Juli 1977 gonjangan terhadap nilai kurs rupiah mulai dirasakan, yang bermula dari jatuhnya mata Uang Bath Thailand. Pemerintah pada tanggal 14 Agustus 1997 melepas bata-batas kurs intervensi.
Dengan pelepasan batas-batas kurs intervensi, pemerintah meninggalkan sistem tukar upiah yang mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang murni sehingga nilai tukar kurs rupiah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan pasar. Walaupun demikian, pemerintah dapat mempengaruhi nilai kurs rupiah baik secara langsung maupun secara tidak langsung, yaitu melalui kebijaksaan fiskal dan moneter.
D. Jalan Berliku Perbankan Indonesia di 2008-2009
Perjalanan perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan tantangan dan kendala yang harus dihadapi, sehingga memaksa para pelaku usaha dan pengusaha dari berbagai sektor merevisi target pendapatan, pertumbuhan dan rencana bisnis investasinya. Pasalnya siapa yang menduga, krisis keuangan global terjadi di tahun ini dan akibatnya dampak tersebut mulai dirasakan negara berkembang, khususnya Indonesia.
Meskipun dampak dirasakan belum separah yang dialami negara maju, dimana sumber tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi dan pengusaha dalam negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat ekonomi memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun depan, sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak mengantisipasi dampak lebih buruk ditahun mendatang.
Krisis ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan terbesar di dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime mortgage) dan disusul kebangkrutan industri otomotifnya, seperti General Motor dan Ford. Musibah yang menimpa di Amerika juga serentak dirasakan negara-negara maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju saja tidak bisa mengelak dari krisis keuangan global dan apalagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ternyata betul saja, dampak krisis sempat memberikan sentimen buruk bagi lembaga keuangan bank dan non bank di Indonesia. Pasar modal dalam negeri juga sempat terkoreksi pada level yang paling buruk dampak menularnya kejatuhan pasar bursa di Wall Street. Terkoreksinya pasar bursa dalam negeri sempat membuat otoritas bursa menutup (suspensi) pasar dalam waktu dua hari.
Kepanikan Akibat Rumor Negatif
Muncul kabar dan rumor negatif adanya redemption di pasar modal oleh para investor asing guna menutupi keuangan di negaranya, telah membuat nilai tukar rupiah terus melorot dan jatuhnya indek harga saham gabungan (IHSG).
Akibatnya, kepanikan para nasabah perbankan dalam negeri bertambah dan mereka menilai menyimpan dana di bank sudah tidak aman lagi.
Beberapa kali pemerintah mencoba menyakinkan masyarakat, krisis yang terjadi tidak akan menjadikan perekonomian Indonesia terpuruk sebagaimana yang terjadi di tahun 1998. Pasalnya fundamental ekonomi di Indonesia masih kuat dan perbankan masih berjalan sehat.
Tingginya intensitas rumor negatif yang beradar di masyarakat, akhirnya mempertegas kondisi perbankan Indonesia sedang mengalami ketatnya likuiditas antar bank. Gagal kriliring akibat kesulitan likuiditas yang dialami bank Century menjadi bukti nyata dampak rumor telah meresahkan sektor perbankan. Maklum saja lembaga perbankan sangat sensitif dengan kabar dan rumor tersebut.
Banyaknya beredar rumor menjadi momok menakutkan bagi sektor perbankan dan akhirnya membuat pemerintah geram. Kekesalan pemerintah terhadap penyebar rumor berbuah hasil dengan ditangkapnya broker PT Bahana Securitas, Erick Jazier Adriansyah pada awal November.
Modus yang dilakukan si penyebar rumor likuiditas perbankan nasional ini dengan menyebarkan surat elektronik kepada sejumlah kliennya yang isinya bahwa lima bank dalam keadaan kesulitan keuangan, yaitu Bank Artha Graha Internasional, Bank Bukopin, Bank Century, Bank Panin, dan Bank Victoria.
Dengan alasan untuk mengembalikan kepercayaan nasabah dan menjaga dampak sistemik keuangan di Indonesia, pemerintah mengambil alih bank Century melalui Lembaga Penjamin Simpanan dengan menyuntikkan dana hingga Rp2 triliun. Kasus diambil alihnya Century oleh pemerintah telah menjadi tamparan telah bagi Bank Indonesia. Pasalnya, sebagai bank sentral, BI dinilai lemah dalam melakukan pengawasan antar Bank. Anggota DPR Komisi XI Drajat Wibowo mengatakan, kasus Century bukan hanya tanggung jawab penyebar rumor negatif tetapi juga tanggung jawab BI, karena gagalnya melakukan pengawasan antar bank.
Di tengah tingginya persaingan perbankan merebut pasar dalam negeri, ternyata dampak krisis keuangan global membuat bisnis bank-bank BUMN harus direvisi dan bahkan lebih bersikap hati-hati dalam mengucurkan kreditnya. Tidak mau menimbulkan kredit macet dan tingginya Non Performance Loan (NPL), sekarang perbankan harus lebih berhati-hati dan selektif menyalurkan kreditnya.
Hal semacam inilah yang dilakukan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang lebih selektif memberikan kucuran kredit kepada nasabahnya, khususnya disektor perkebunan kelapa sawit. “Kita tidak menurunkan kredit perbankan untuk sektor perkebunan, tetapi akan lebih selektif” kata Direktur Risk Management Bank Mandiri Sentot A Sentausa.
Menurutnya, apa yang dilakukan Bank Mandiri dengan cara tersebut sebagai upaya mengantisipasi terjadinya kredit macet yang tinggi, sebagaimana pengalaman yang terjadi di tahun 2005. Masih labilnya kondisi ekonomi dan ancaman lambatnya pertumbuhan ekonomi di tahun mendatang, membuat kebijakan Bank Indonesia tentang kepemilikan tunggal (Single Pressence Policy/SPP) berjalan di tempat dan tidak ada progress yang signifikan, kendatipun BI sudah mengundurkan target penerapan peraturan tersebut dari semula pada akhir 2008 menjadi akhir 2010.
E. Kondisi Terakhir Perbankan Di Indonesia
Kondisi perbankan di Indonesia semakin membaik meski tekanan krisis keuangan global semakin terasa. Hal tersebut terlihat dari berkurangnya keketatan likuiditas perbankan dan tumbuhnya total kredit perbankan. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Mulyaman D Hadad mengatakan, berdasarkan data perkembangan terakhir, keketatan likuiditas sudah berkurang.
Dalam 2 bulan terakhir likuiditas mulai berkurang, tapi masih menjadi perhatian. Bertambahnya likuiditas perbankan tersebut karena ada pelonggaran ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dan peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK), sedangkan total kredit tahun per tahun tumbuh 37,1 persen.
Kredit investasi juga mencatat pertumbuhan tahunan tertinggi 42,9 persen, kredit modal kerja tumbuh 39 persen, kredit konsumsi tumbuh 33 persen. Adapun tingkat kredit macet (Non Performing Loan/NPL) relatif stabil 3,9 persen. Kecukupan modal perbankan (CAR) juga masih tinggi mencapai 16 persen. Risiko kredit dan risiko pasar masih tergolong rendah, namun berpotensi meningkat apabila pemburukan ekonomi global berlanjut. Lebih lanjut Mulyaman memperkirakan, jika pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 4,9-5 persen, pertumbuhan kredit bisa mencapai 15-20 persen di tahun 2009 mendatang.
Pejabat senior IMF Perwakilan Indonesia Milan Zavadjil juga menyatakan bahwa sistem perbankan di Indonesia mulai kuat dan memiliki modal serta kinerja bagus yang tercipta karena membaiknya sistem pengawasan perbankan. Zavadjil yang dikutip dari keterangan pers di website IMF menyebutkan kinerja perekonomian Indonesia secara umum sangat baik dalam 10 tahun terakhir dengan memperbaiki makro ekonomi dan stabilitas sistem keuangan terutama di sektor fiskal dan kebijakan moneter.
Pernyataan ini sengaja dikeluarkan untuk meluruskan pemberitaan yang keliru oleh media-media di Indonesia mengenai penilaian atas ekonomi Indonesia dalam laporan IMF mengenai kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia yang dipublikasikan beberapa waktu lalu.
Keberhasilan menghadapi krisis keuangan 2008-2009 menjadi bukti jelas daya tahan sistem dan membaiknya stabilitas keuangan Indonesia yang dibentuk 10 tahun terakhir ini. Program penilaian sektor keuangan (Financial Sector Assessment Program/FSAP) adalah analisis menyeluruh dan mendalam mengenai sektor keuangan suatu negara yang telah dimulai sejak 1999 dan diikuti lebih dari 150 negara termasuk negara anggota G-20.
Fokus penilaian program ini yaitu mengukur stabilitas sektor keuangan dan potensi kontribusinya bagi pertumbuhan dan pembangunan. Penilaian IMF, katanya termasuk melakukan stress test kekuatan perbankan Indonesia menghadapi kondisi yang paling ekstrim seperti penurunan pertumbuhan ekonomi.
Untuk Indonesia hasil stress test sangat positif. Dalam tes dengan skenario bawah, meski keuangan bank terkena dampak tetapi permodalan masih bertahan di batas yang ditentukan. Dalam kesimpulan IMF, sektor keuangan Indonesia sudah menjadi sistem yang kuat dan itu merupakan sinyal positif bagi investor dalam dan luar negeri.
Perekonomian Indonesia masih
mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan
debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan
dan perekonomian. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan
debirokratisasi adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan
yang sehat, efisien, dan tangguh. Dampak dari over regulated terhadap
perbankan adalah kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal
tersebut mendorong BI melakukan deregulasi perbankan untuk
memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha,
dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut.
Pada
1983, tahap awal deregulasi perbankan dimulai dengan penghapusan pagu
kredit, bank bebas menetapkan suku bunga kredit, tabungan, dan
deposito, serta menghentikan pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit tertentu yang
berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor.
Pada
tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam
deregulasi perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi
Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai
kebijakan penertiban perbankan 1971–1972. Memasuki tahun 1990-an, BI
mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang
mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992
dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu,
terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan
BPR.
Berdasarkan Undang-undang
No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan, ruang
lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana
masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi
persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme
para pelakunya.
Dengan
undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank
pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan.
Untuk
meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia
mengeluarkan Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991)
tentang Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai
penerapan rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu pada standar perbankan
internasional yang antara lain meliputi ketentuan mengenai Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif.
Namun
sekarang kondisi perbankan di Indonesia semakin membaik meski tekanan
krisis keuangan global semakin terasa. Hal tersebut terlihat dari
berkurangnya keketatan likuiditas perbankan dan tumbuhnya total kredit
perbankan. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Mulyaman D Hadad
mengatakan, berdasarkan data perkembangan terakhir, keketatan
likuiditas sudah berkurang.
Dalam
2 bulan terakhir likuiditas mulai berkurang, tapi masih menjadi
perhatian. Bertambahnya likuiditas perbankan tersebut karena ada
pelonggaran ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dan peningkatan Dana
Pihak Ketiga (DPK), sedangkan total kredit tahun per tahun tumbuh 37,1
persen.
Pejabat senior IMF
Perwakilan Indonesia Milan Zavadjil juga menyatakan bahwa sistem
perbankan di Indonesia mulai kuat dan memiliki modal serta kinerja
bagus yang tercipta karena membaiknya sistem pengawasan perbankan.
Zavadjil yang dikutip dari keterangan pers di website IMF menyebutkan
kinerja perekonomian Indonesia secara umum sangat baik dalam 10 tahun
terakhir dengan memperbaiki makro ekonomi dan stabilitas sistem
keuangan terutama di sektor fiskal dan kebijakan moneter.
Pernyataan
ini sengaja dikeluarkan untuk meluruskan pemberitaan yang keliru oleh
media-media di Indonesia mengenai penilaian atas ekonomi Indonesia
dalam laporan IMF mengenai kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia
yang dipublikasikan beberapa waktu lalu.
Langganan:
Postingan (Atom)